Tuesday, June 12, 2012

Peran Yang Dipilih

" Saya sudah belajar, bekerja, bahkan melebihi Jobdesk. Tapi tidak ada seorangpun yang menghargai, lihat aja, yang naik pangkat pasti orang yg dekat pada pimpinan."


" Kamu sudah belajar, kamu memilih ga nyontek, ga pake resep. Tapi nilaimu kalah dibanding mereka yang malah pakai cara curang. Saya setuju dengan kamu, kampus ini memang ga beres."


" Kamu tenang aja. Saya akan bantu kamu. Untuk presentasi nanti biar saya yang buatkan. Jangan takut. Yang penting dosen ga tahu kalau tugas presentasi ini saya yang buatkan untuk kamu."


source: wallpaperfor.me
Bisa jadi, komentar diatas adalah hal yang rutin kita dengar, atau bahkan hal yang lazim kita ucapkan. Untuk tulisan ini, asumsikan saja kita yang mengucapkan. Dan memang itu halyang umum terjadi. Karena sangat menyenangkan memang, bila satu hal terjadi tidak seperti yang kita rencanakan -- atau kita harapkan -- kita menimpakan beban masalah pada orang lain. Dalam beberapa kasus lainnya kita 'mendisain' agar kesalahan itu ditimpakan pada orang lain tapi melalui perantaraan orang lainnya lagi, kita mengompori saja. Atau dalam kondisi berbeda, kita menjadikan diri kita sebagai orang yang siap menanggung masalah, namun dengan sengaja menunjukkan bahwa kitalah yang telah membantu. Orang lain harus tahu bahwa kita yang membantu.

Begitulah yang sering kita lakukan setiap harinya, Memilih Peran.

Ya, benar teman. Kita selalu memilih peran kita dalam menjalani kehidupan. dan seringnya kita terjebak pada tiga peran. Menjadikan diri kita sebagai Korban, membentuk diri menjadi Penjahat, atau menampilkan sisi Pahlawan.

status Facebook adik saya, cukup merangkum :
My brother told me, as in a super heroes movie, in general people can be grouped into three; victims, villains, and heroes. The funny thing is most people choose to be the victims. Maybe because blaming someone and waiting to be rescued are easier than admitting that I am wrong and I have to fix all the bad deeds that I have done.

Kita memilih peran, dan ironisnya, kita sering terjebak dalam peran yang kita pilih sendiri.

Usai mengisi materi pada Program Radio, Cermin -- Cerita Malam Senin, di Radio Seulaweut 91 FM Banda Aceh, dengan tema 'Peran Pilihan Kita' , seorang pendengar mengirim SMS : Menjadi Korban atau Penjahat, memang tidak baik, tapi bukankah menjadi Pahlawan adalah suatu kebaikan ?

Saya setuju. Menjadi pahlawan, memang suatu kebaikan. Satu keharusan malah, untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Karena memang kita tak ingin, perjalanan hidup kita hanya tercatat dalam 3 baris saja: Nama | Tempat Tanggal Lahir | Tempat Tanggal Meninggal.

Tapi 'Pahlawan' disini, bukan sosok Pahlawan yang sebenarnya. Bukan membantu yang dilakukannya, malah sebenarnya merugikan. Berpura-pura menjadi Pahlawan, adalah istilah yang lebih tepat. Karena yang sering dilakukan adalah mengambil alih tanggung jawab mereka yang berperan sebagai korban, seolah melindungi dari mereka yang berperan jadi penjahat, atau memberi kesan baik dengan membenarkan pemikiran si korban. Catatan terpenting dari para 'Pahlawan' palsu ini, mereka selalu memfokuskan agar orang lain tahu bahwa mereka sudah membantu. Mereka menuntut agar kepahlawanan mereka diakui.

Merugikan, sangat merugikan. Bagi orang lain, para pahlawan palsu ini hanya akan membuat para pemeran korban semakin merasa dibenarkan dan akhirnya terpuruk dalam kesalahan yang semakin lama semakin menguasai pribadi dan pola fikir si korban. Bagi para penjahat, keinginan untuk menjadi pahlawan itu akan terlihat sebagai jalan mulus, untuk melancarkan aksinya. Para penjahat akan mempergunakan sifat ingin dimuliakan sebagai alat untuk menyerang orang lain.Mereka akan mendisain si korban untuk menyalahkan orang tertentu, lalu dengan sedikit manipulasi akan memancing rasa pahlawan untuk melindungi si korban dari pihak yang dianggap musuh oleh si korban (dan tentu saja si penjahat).
Si pahlawan pada akhirnya akan menemukan dirinya terjebak dan terus terseret dalam konflik orang lain.

Bukan, kawan. Bukan ini pahlawan yang sebenarnya.
Pahlawan yang sebenarnya, akan melakukan yang terbaik, sesuai kemampuannya. Mereka faham kualitas dirinya. mereka tahu kelemahan dan kelebihan dirinya. Mereka melakukan yang terbaik, bukan mengharapkan yang terbaik.
Pahlawan yang sebenarnya, tak mentargetkan pujian orang lain. Mereka sadar bahwa untuk mendapatkan yang terbaik, adalah dengan mengupayakannya. Menyalahkan orang tak akan menjadi penyelesaian. Mereka memperbaiki kualitas diri mereka, lalu mulai melakukan perbaikan pada lingkungan disekitarnya. Mereka mengenali batasan diri mereka, ketika mereka berhadapan dengan batasan kemampuan maka mereka akan mencari solusi lain. Bukan dengan semena-mena mengorbankan diri mereka. Karena mereka sadar, untuk memberikan kebaikan bagi orang lain, maka mereka juga harus dalam keadaan baik.

Panjang penjelasannya, bila terus dilanjutkan.

Tapi satu hal yang sedikit mudah digambarkan, pahlawan sejati, tidak akan mendzalimi dirinya sendiri untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Karena pahlawan sejati, tidak akan meninggalkan beban bagi orang lain, bahkan walaupun untuk kebaikan orang lain.

Nah, siapakah peran kita dipanggung kehidupan ini.
Korban
Penjahat
Pahlawan Imitasi
atau, Pahlawan Sejati.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search